Perlakuan MA Terhadap Hakim Adhoc Tipikor Indikasi Tidak Serius Berantas Korupsi
Keprihatinan menyeruak dalam RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) Komisi III dengan perwakilan hakim adhoc Tipikor Mahkamah Agung. Ujung tombak pemberantasan korupsi ini datang mewakili hakim dari 14 Pengadilan Tipikor tingkat pertama dan 7 Pengadilan Tinggi Tipikor, diseluruh Indonesia yang jumlahnya tidak kurang 200 hakim. Mereka melaporkan hak-hak yang telah diatur dalam UU dan Perpres tetapi tidak diberikan oleh Mahkamah Agung.
“Perlakuan terhadap para hakim adhoc Tipikor ini menunjukkan bagaimana Mahkamah Agung tidak sungguh-sungguh dalam upaya memberantas korupsi. Kinerja hakim ad hoc semakin baik tapi penghargaan kepada mereka tidak demikian,” tandas anggota Komisi III Nudirman Munir usai mendengar paparan dari perwakilan hakim adhoc Tipikor di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (19/7/2011).
Sebelumnya, Syamsul Chaniago juru bicara hakim adhoc Tipikor menjelaskan dalam pasal 21 UU nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan hakim mempunyai hak keuangan dan administratif tanpa membedakan kedudukan hakim. Penjabaran dari kebersamaan ini sejauh ini belum didapatkan hakim adhoc yang secara baik. Penegasan lain terdapat pada surat mensesneg nomer 6/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Pejabat Negara dan Pejabat Lainnya yang secara eksplisit menyebut hakim adhoc adalah pejabat negara.
“Walaupun disebut pejabat negara, hakim adhoc tipikor bekerja layaknya clerk, dalam melaksanakan tugas sehari-hari tidak didukung staf, kami terpaksa mengagendakan berkas sendiri, mencatat sendiri, mengetik sendiri. Kami ini hakim agung tetapi perlakuan sehari-hari dalam upacara atau rapat seperti pejabat eselon dua, bahkan terkadang setara pejabat eselon 3 atau 4,” imbuh Suparmin hakim adhoc Tipikor di MA.
Dalam UU nomor 46/2009 dan diperkuat Perpres, disebutkan pula hakim adhoc Tipikor memperoleh fasilitas transportasi, perumahan, keamanan. Namun sekretaris MA tidak pernah memfasilitasi untuk mendapatkan rumah dinas dari negara. Para hakim akhirnya tinggal di apartemen pejabat negara setelah mereka berinisiatif sendiri menghubungi kantor Sesneg. Demikian pula sarana transportasi dan keamanan sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang memadai.
“Kami masuk jadi hakim agung Tipikor bukan mencari pekerjaan, terus terang ini adalah pengabdian pada negara. Saya mantan aktifis mahasiswa terpanggil jiwanya untuk menjadi hakim Tipikor, bukan untuk uang tapi mewujudkan idealismaya agar bangsa ini lebih baik. Sebelumnya profesi saya lawyer, saya sudah dapat cukup. Kami mohon perhatian anggota dewan, status kami itu pejabat negara atau bukan. Kalau bukan, jelas kita mundur semua. Kami juga tidak mau buang waktu di pengadilan yang tidak jelas statusnya lebih baik mundur saja,” tegas Krisna Harahap yang juga bertugas di MA.
Ia juga mengkhawatirkan para hakim adhoc Tipikor yang bekerja di daerah tidak memiliki daya tahan yang cukup untuk menghadapi tantangan dan godaan pekerjaan yang terus menerus datang. Kasus hakim adhoc Pengadilan Niaga di Bandung yang menerima uang suap sebesar 200 juta rupiah bisa saja terjadi pada hakim Tipikor. Yang lebih memprihatinkan menurutnya kerja besar bangsa untuk memerangi korupsi bisa kandas ditengah jalan.
Anggota Komisi III dari FPDIP Eva Kusuma Sundari mengusulkan langkah konkrit untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan memanggil sekretaris Mahkamah Agung dan pejabat terkait di Kementrian Keuangan. Usulan ini disambut baik oleh pimpinan sidang Benny K Harman yang juga Ketua Komisi III DPR RI. “Kita akan prioritaskan bahasan ini dalam rapat konsultasi dengan MA,” tekannya. (iky) foto:parle